BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam makalah ini, kami mengambil tema
tentang Pendidikan Islam Pada Masa Khulafaur
Rasyidin (Ali Bin Abi Thalib Dan Usman Bin Affan. Kami memilih
tema ini karena kami rasa materi ini sangatlah penting untuk dipelajari karena
Pendidikan Islam Pada Masa Khulafaur Rasyidin terutama pada masa Ali Bin Abi
Thalib dan Usman Bin Affan merupakan salah satu faktor berkembangnya Pendidikan
Islam di Dunia .
Di dalam makalah ini kami membahas
tentang Pendidikan Islam Pada Masa Khulafaur
Rasyidin (Ali Bin Abi Thalib Dan Usman Bin Affan yang
kami sajikan pada bagian awal dari isi makalah.
Pendidikan
Islam Pada Masa Khulafaur Rasyidin (Ali Bin Abi Thalib Dan Usman Bin Affan)
merupakan materi yang harus dipahami dengan baik karena di dalamnya mencakup
cukup banyak pembahasan seperti pola pendidikan pada masa Usman bin Affan dan
Ali bin Abi Thalib Maka dari itu, kami
membuat materi Sejarah Pendidikan pada Masa Usman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib dalam makalah ini menjadi ringkas dan mudah dipahami.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang di atas maka dapat ditentukan rumusan masalah dalam
makalah ini seperti:
1. Bagaimana
metode Pendidikan pada masa Usman bin Affan ?
2. Bagaimana metode Pendidikan pada masa Ali bin Abi
Thalib?
C.
Tujuan
- Untuk mengetahui Konsep Dasar Kurikulum.
- Untuk mengetahui Dimensi Kurikulum.
BAB
II
PEMBAHASAN
- Pola Pendidikan Islam pada Masa Khalifah Usman bin Affan (23-35 H : 644-656 M)
Usman bin Affan adalah termasuk saudagar
besar dan kaya juga sangat pemurah menafkahkan hartanya untuk kepentingan ummat
Islam. Usman diangkat menjadi khalifah hasil dari pemilihan panitia enam
(Usman, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqash dan
Abdurrahman bin Auf) yang ditunjukkan oleh khalifah Umar bin Khattab menjelang
beliau akan meninggal.[1]
Pola pendidikan
pada masa Utsman tidak jauh berbeda dengan pola pendidikan yang diterapkan pada
masa Umar. Hanya saja pada periode ini, para sahabat yang asalnya dilarang
untuk keluar dari kota madinah kecuali mendapatkan izin dari khalifah, mereka
diperkenankan untuk keluar dan menetap
di daerah-daerah yang mereka sukai. Dengan kebijakan ini, maka orang yang
menuntut ilmu (para peserta didik) tidak merasa kesulitan untuk belajar ke
Madinah.
Pada masa Khulafaur Rasyidin pusat-pusat
pendidikan bukan hanya terdapat di Mekkah dan Madinah, melainkan juga sudah
tersebar di berbagai daerah kekuasaan Islam lainnya. Adapun lembaga-lembaga pendidikan yang
digunakan masih sama dengan lembaga yang digunakan di zaman Rasulullah
Saw.yaitu masjid, Suffah, Kuttab, dan rumah.[2]
- Pendidik dan Peserta didik
Tugas mendidik dan mengajar umat pada
masa ini diserahkan pada umat itu sendiri, artinya pemerintah tidak mengangkat
guru-guru, dengan demikian para pendidik sendiri melaksanakan tugasnya hanya
dengan mengharapkan keridhaan Allah. Jadi pada masa Khalifah ini guru-guru atau
pendidik mengajar tidak mengharapkan imbalan melainkan keikhlasan dan juga
kualifikasi kemampuan. Berbeda sekali dengan zaman sekarang yang terkadang
sebagian guru lebih mementingkan upah daripada kualitas dirinya. Selain itu
adanya kesadaran dari pada guru untuk mengamalkan dan mengajarkan ilmunya
meskipun tidak adanya tuntutan dari pemerintah.
Yang menjadi pendidik di zaman Khulafaur Rasyidin antara lain
adalah Abdullah ibn Umar, Abdu Hurairah , Ibnu Abas, Siti Aisyah , Anas bin
Malik, Zaid Ibn Tsabit, Abu Dzar al-Ghifari dan para ulama.
Dari penjelasan tersebut dapat terlihat
bahwa masih adanya peranan beberapa sahabat dan para ulama. Tetapi ada yang
berbeda dari pendidik pada masa Utsman ini. Para sahabat yang berpengaruh dan
dekat dengan Rasulullah yang tidak diperbolehkan meninggalkan Madinah di masa
Khalifah Umar, diberikan kelonggaran untuk keluar di daerah-daerah yang mereka
sukai. Kebijakan ini sangat besar pengaruhnya bagi pelaksanaan pendidikan di
daerah-daerah. Dari dimensi sosial budaya, ilmu pengetahuan berkembang dengan
baik. Pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan erat kaitannya dengan
perluasan wilayah Islam.
Dengan adanya perluasan wilayah, maka
banyak para sahabat yang mendatangi wilayah tersebut dengan tujuan mengajarkan
agama Islam.Selain itu, adanya pertukaran pemikiran antara penduduk asli dengan
para sahabat juga menjadikan ilmu pengetahuan berkembang dengan baik. Terobosan
yang dilakukan Khalifah Utsman ini membuat pendidik dapat memperluas wilayah
mengajar mereka tidak hanya di Mekkah dan Madinah saja.
Ada
beberapa tenaga pendidik diantaranya :
1. Para
Khalifah itu sendiri
2. Para
sahabat besar, antara lain :
a) Abdullah
bin Umar
b) Abu
Hurairah
c) Abdullah
bin Abbas
d) Aisyah
e) Anas
bin Mali
f) Zaid
bin Tsabit
g) Abdullah
bin Mas’ud
Khalifah Usman sudah merasa cukup dengan
pendidikan yang sudah berjalan, namun begitu ada usaha yang cemerlang yang
telah terjadi dimasa ini yang berpengaruh luar biasa bagi pendidikan Islam
yaitu untuk mengumpulkan tulisan ayat-ayat Al-Qur’an. Penyalinan ini terjadi
karena perselisihan dalam bacaan Al-Qur’an. Berdasarkan hal ini, khalifah Usman
memerintahkan kepada tim untuk penyalinan tersebut, adapun timnya adalah: Zaid
bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Zaid bin Ash, dan Abdurrahman bin Harits.
Apabila terjadi pertikaian bacaan, maka harus diambil pedoman kepada dialek
suku Quraisy.
Pada masa Khalifah Usman bin Affan,
tugas mendidik dan mengajar umat diserahkan pada umat itu sendiri, artinya
pemerintah tidak mengangkat guru-guru. Jadi para pendidik tersebut dalam
melaksanakan tugasnya hanya mengharapkan keridhaan Allah semata. Adapun objek
pendidikan pada masa itu terdiri dari:
1)
Orang dewasa dan
atau orang tua yang baru masuk Islam
2)
Anak-anak, baik
orang tuanya telah lama memeluk Islam ataupun yang baru memeluk Islam
3)
Orang dewasa dan
atau orang tua yang telah lama memeluk Islam
4)
Orang yang
mengkhususkan dirinya menuntun ilmu agama secara luas dan mendalam
Dari keempat golongan terdidik tersebut,
pelaksanaan pendidikan dan pengajaran tidak mungkin dilakukan dengan cara
menyamaratkan tetapi harus diadakan pengklasifikasian yang rapi dan sistematis,
disesuaikan dengan kemampuan dan kesanggupan dari peserta didiknya. Adapun metode
yang digunakan adalah:
1) Golongan
pertama: menggunakan metode ceramah, hafalan, dan latihan dengan mengemukakan
contoh-contoh dan peragaan
2) Golongan
kedua: menggunakan metode hafalan dan latihan
3) Golongan
ketiga: menggunakan metode diskusi, ceramah, hafalan, tanya jawab
4) Golongan
keempat: menggunakan metode ceramah, hafalan, Tanya jawab dan diskusi serta
sedikit hafalan. Pendidikan dan pengajaran pada golongan ini lebih bersifat
pematangan (dan pendalaman mata pelajaran yang diberikan disesuaikan dengan
kebutuhan terdidik dengan urutan mendahulukan pengetahuan yang sangat mendesak/
penting untuk dijadikan pedoman dan pegangan hidup beragama.
Ada
3 fase dalam pendidikan dan pengajarannya:
1. Fase
pembinaan: dimaksudkan untuk memberikan kesempatan agar terdidik memperoleh
kemantapan iman.
2. Fase
pendidikan: ditekankan pada ilmu-ilmu praktis dengan maksud agar mereka dapat
segera mengamalkan ajaran dan tuntunan agama dengan sebaik-baiknya dalam
kehidupan sehari-hari.
3. Fase
pelajaran: ada pelajaran-pelajaran lain yang diberikan untuk penunjang
pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Hadits, seperti bahasa Arab dengan tata
bahasanya, menulis, membaca, syair dan peribahasa.[3]
Pendidikan pada masa khalifah Usman ini
tidak hanya terjadi perkembangan, jika dibandingkan pada masa Khalifah Umar bin
Khattab. Hal ini disebabkan pada masa khalifah Usman urusan pendidikan
diserahkan begitu saja pada rakyat.
Dari segi pemerintahan khalifah Usman
banyak timbul pergolakan dalam masyarakat sebagai akibat ketidaksenangan mereka
terhadap kebijakan khalifah Usman yang mengangkat kerabatnya dalam jabatan
pemerintahan.[4]
- Pola Pendidikan Pada Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H: 656-661 M)
Ali
adalah khalifah yang keempat setelah Usman bin Affan. Pada masa pemerintahannya
sudah diguncang peperangan dengan Aisyah (istri Nabi) beserta Talhah dan
Abdullah bin Zubair karena kesalahfahaman dalam menyikapi pembunuhan terhadap
Usman, peperangan diantara mereka isebut perang Jamal (unta) karena Aisyah
menggunakan kendaraan unta. Setelah berhasil mengatasi pemberontakan Aisyah,
muncul pemberontakan lain, sehingga masa kekuasaan khalifah Ali tidak pernah
mendapatkan ketenangan dan kedamaian.
Muawiyah
sebagai gubernur di Damaskus memberontak untuk mengguingkan kekuasaannya.
Peperangan ini disebut Shiffin, karena terjadi di Shiffin. Ketika tentara
Mu’awiyah terdesak oleh pasukan Ali, maka Mu’awiyah segera mengambil siasat
untuk menyatakan tahkim (penyelesaian secara adil dan damai). Semula Ali
menolak, tetapi karena deakan dari beberapa tentaranya akhirnya Ali
menerimanya, namun tahkim malah menimbulkan kekacauan, sebab Mu’awiyah curang,
dengan tahkim tersebut, Mu’awiyah berhasil mengalahkan Ali dan mendirikan
pemerintahan tandingan di Damaskus. Sementara itu, sebagian tentara yang
menentang keputusan Ali dengan cara tahkim, meninggalkan Ali dan membuat
kelompok tersendiri yaitu khawarij.
Pada masa
khalifah Ali ini terjadi kekacauan dan pemberontakan, sehingga pemerintahannya
tidak stabil. Dengan kericuhan politik pada masa ini, kegiatan pendidikan Islam
mendapat hambatan dan gangguan. Pada saat itu khalifah Ali bin Abi Thalib tidak
lagi memikirkan masalah pendidikan karena seluruh perhatiannya ditumpahkan pada
masalah keamanan dan kedamaian bagi masyarakat Islam. Dengan demikian masalah
pola pendidikan pada masa Khulafaur Rasyidin tidak jauh berbeda dengan masa
Nabi yang menekan pada pengajaran baca tulis dan ajaran-ajaran Islam yang
bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits Nabi.
Pada masa ini, penaklukkan ke timur
dan ke barat dan kaum muslimin memerintah dari Amir atas sebagian besar persi
hingga sampai sungai jihan (Amudariya) dari utara atas suriyah dan negeri
Armenia, dari Barat atas Mesir. Dan dibukanya kota kota besar Islam seperti
Fusthat, Kufah, dan Damaskus.
Dengan demikian agama Islam tersebar
seluruh Negara Islam yang luas dipeluk oleh penduduk dengan segala suka hati,
bukan dengan paksa atau kekerasan. Pusat pendidikan bukan hanya di Madinah
saja, bahkan telah tersebar pula di kota-kota besar sebagai berikut :
1.
Kota Mekkah dan Madinah (Hijaz)
2.
Kota Bashrah dan Kufah (Iraq)
3.
Kota Damsyik
dan Palestina (Syam)
4.
Kota Fistat
(Mesir).
Sahabat-sahabat bertebaran ke berbagai daerah dan disana mereka menjadi
pemimpin sekaligus menjadi pendidik muslim di tempat masing masing sehingga
pendidikan tidak berpusat da Madrasah saja. Selanjutnya praktek pengelolaan
pendidikan pada masa ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
a)
Prinsip-prinsip pendidikan diarahkan
pada mengajarkan isi Al-Quran.
b)
Sumber
pendidikan diambil dari Al-Quran, Hadits, alam sekitar (millu) da ijtihad dalam
bentuk ijma dan Qiyas.
c)
Kurikulum
atau rencana pelajaran disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
d)
Pada masa Ali bin Abi Thalib
digalakkan motivasi belajar.[5]
D.
Pusat-pusat
pendidikan pada Masa Khulafaur Rasyidin
Pusat-pusat
pendidikan pada masa khulafaur rasyidin antara lain:
1. Mekkah
: guru pertama di Mekkah adalah Muaz bin Jabal yang mengajarkan Al-Qur’an dan
Fikih
2. Madinah
: sahabat yang terkenal antara lain Abu Bakar, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,
dan sahabat-sahabat lainnya
3. Basrah
: sahabat yang termasyhur antara lain Abu Musa Al-Asy’ari, seorang ahli fikih
dan Al-Qur’an
4. Kuffah
: sahabat-sahabat yang termasyhur di sini adalah Ali bin Abi Thalib, dan
Abdullah bin Mas’ud yang mengajarkan Al-Qur’an ia adalah ahli tafsir, hadits,
dan fikih.
5. Damsyik
(Syam) sahabat yang mengajarkan ilmu di sana adalah Mu’az bin Jaba ( di
Palestina), Ubaidillah (di Hims), dan Abu Darda’ (di Damsyik)
6. Mesir
: sahabat yang mula-mula mendirikan madrasah dan menjadi guru di Mesir adalah
Abdullah bin Amr bin Ash, ia adalah seorang ahli hadits.[6]
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
Pada masa
pemerintahan Utsman bin Affan tidak terjadi perubahan pola pendidikan,. Akan
tetapi, terjadi sebuah penyeragaman cara membaca Al-Qur’an dan terjadinya
pertambahan peserta didik dimana hal itu membuat lebih banyak lagi yang paham
tentang Islam dan mempermudah mereka yang belajar agama Islam, karena dahulu
ketika masa Khalifah Umar para sahabat dan ahli agama tidak boleh pergi keluar
Mekkah dan Maddinah. Metode yang digunakan yaitu halaqah, hafalan, diskusi
(Tanya jawab), latihan, ceramah, dll.
Pada masa Ali telah terjadi
kekacauan dan pemberontakan, sehingga di masa ia berkuasa pemerintahannya tidak
stabil. Dengan kericuhan politik pada masa Ali berkuasa, kegiatan pendidikan
Islam mendapat hambatan dan gangguan. Pada saat itu Ali tidak sempat memikirkan
masalah pedidikan sebab keseluruhan perhatiannya ditumpahkan pada masalah
keamanan dan kedamaian bagi masyarakat Islam.
Meskipun sempat mengalami
pemberontakan-pemberontakan pada masanya, Sahabat Ali Bin Abi Thalib tetap
menggalakkan kaumnya untuk tetap belajar walawpun tidak terlalu terfokus dalam
dunia pendidikan karena Ali Bin Abi Thalib lebih memfokuskan diri terhadap keamanan
masyarakatnya saat itu yang sempat mengalami pertumpahan.
Demikian lah dasar-dasar pandangan
islam tentang pendidikan yang memilki kedudukan penting dalam ajaran islam
sehingga pendidikan selalu diutamakan oleh umat islam.
DAFTAR PUSTAKA
Badri Matim,1993,
Jakarta, sejarah peradaban islam,Raja Grafindo Persada
Hanun
Asrohah, 1999, Jakarta,sejarah pendidikan Islam,Logos Wacana Ilmu
Mahmud
Yunus, 1989,Jakarta ,Sejarah Pendidikan Islam ,Hidakarya Agung
Samsul
Nizar, 2009, Jakarta,Sejarah Pendidikan Islam, Kencana Prenada Media
Group
Soekarno,
1983, Bandung ,Sejarah Dan Filsafat Pendidikan Islam, Angkasa
[1]
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam,(Jakarta: Kencana Prenada Media Group:2009), hal: 48
[2]
Ibid hal 50
[3]
Soekarno, Sejarah Dan Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Angkasa, 1983),
hal: 60
[4]
Badri matim, Sejarah peradaban islam, (Jakarta:Raja Grafindo
Persada:1993) hal 39
[5]
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta : Hidakarya Agung:1989),
hal 116-117
[6]
Hanun Asrohah,Sejarah
Pendidikan Islam,(Jakarta:Logos Wacana Ilmu:1999),hal 20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar