Rabu, 21 Oktober 2015

Ali Bin Abi Thalib dan Usman Bin Affan



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam makalah ini, kami mengambil tema tentang Pendidikan Islam Pada Masa Khulafaur Rasyidin (Ali Bin Abi Thalib Dan Usman Bin Affan. Kami memilih tema ini karena kami rasa materi ini sangatlah penting untuk dipelajari karena Pendidikan Islam Pada Masa Khulafaur Rasyidin terutama pada masa Ali Bin Abi Thalib dan Usman Bin Affan merupakan salah satu faktor berkembangnya Pendidikan Islam di Dunia .
Di dalam makalah ini kami membahas tentang Pendidikan Islam Pada Masa Khulafaur Rasyidin (Ali Bin Abi Thalib Dan Usman Bin Affan yang kami sajikan pada bagian awal dari isi makalah.
Pendidikan Islam Pada Masa Khulafaur Rasyidin (Ali Bin Abi Thalib Dan Usman Bin Affan) merupakan materi yang harus dipahami dengan baik karena di dalamnya mencakup cukup banyak pembahasan seperti pola pendidikan pada masa Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib  Maka dari itu, kami membuat materi Sejarah Pendidikan pada Masa Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dalam makalah ini menjadi ringkas dan mudah dipahami.
B.    Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat ditentukan rumusan masalah dalam makalah ini seperti:
1.   Bagaimana metode Pendidikan pada masa Usman bin Affan ?
2.   Bagaimana  metode Pendidikan pada masa Ali bin Abi Thalib?

C.    Tujuan
  1. Untuk mengetahui Konsep Dasar Kurikulum.
  2. Untuk mengetahui Dimensi Kurikulum.
BAB II
PEMBAHASAN

  1. Pola Pendidikan Islam pada Masa Khalifah Usman bin Affan (23-35 H : 644-656 M)
Usman bin Affan adalah termasuk saudagar besar dan kaya juga sangat pemurah menafkahkan hartanya untuk kepentingan ummat Islam. Usman diangkat menjadi khalifah hasil dari pemilihan panitia enam (Usman, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqash dan Abdurrahman bin Auf) yang ditunjukkan oleh khalifah Umar bin Khattab menjelang beliau akan meninggal.[1]
Pola pendidikan pada masa Utsman tidak jauh berbeda dengan pola pendidikan yang diterapkan pada masa Umar. Hanya saja pada periode ini, para sahabat yang asalnya dilarang untuk keluar dari kota madinah kecuali mendapatkan izin dari khalifah, mereka diperkenankan  untuk keluar dan menetap di daerah-daerah yang mereka sukai. Dengan kebijakan ini, maka orang yang menuntut ilmu (para peserta didik) tidak merasa kesulitan untuk belajar ke Madinah.

Pada masa Khulafaur Rasyidin pusat-pusat pendidikan bukan hanya terdapat di Mekkah dan Madinah, melainkan juga sudah tersebar di berbagai daerah kekuasaan Islam lainnya.  Adapun lembaga-lembaga pendidikan yang digunakan masih sama dengan lembaga yang digunakan di zaman Rasulullah Saw.yaitu masjid, Suffah, Kuttab, dan rumah.[2]
  1. Pendidik dan Peserta didik
Tugas mendidik dan mengajar umat pada masa ini diserahkan pada umat itu sendiri, artinya pemerintah tidak mengangkat guru-guru, dengan demikian para pendidik sendiri melaksanakan tugasnya hanya dengan mengharapkan keridhaan Allah. Jadi pada masa Khalifah ini guru-guru atau pendidik mengajar tidak mengharapkan imbalan melainkan keikhlasan dan juga kualifikasi kemampuan. Berbeda sekali dengan zaman sekarang yang terkadang sebagian guru lebih mementingkan upah daripada kualitas dirinya. Selain itu adanya kesadaran dari pada guru untuk mengamalkan dan mengajarkan ilmunya meskipun tidak adanya tuntutan dari pemerintah.
Yang menjadi pendidik  di zaman Khulafaur Rasyidin antara lain adalah Abdullah ibn Umar, Abdu Hurairah , Ibnu Abas, Siti Aisyah , Anas bin Malik, Zaid Ibn Tsabit, Abu Dzar al-Ghifari dan para ulama.
Dari penjelasan tersebut dapat terlihat bahwa masih adanya peranan beberapa sahabat dan para ulama. Tetapi ada yang berbeda dari pendidik pada masa Utsman ini. Para sahabat yang berpengaruh dan dekat dengan Rasulullah yang tidak diperbolehkan meninggalkan Madinah di masa Khalifah Umar, diberikan kelonggaran untuk keluar di daerah-daerah yang mereka sukai. Kebijakan ini sangat besar pengaruhnya bagi pelaksanaan pendidikan di daerah-daerah. Dari dimensi sosial budaya, ilmu pengetahuan berkembang dengan baik. Pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan erat kaitannya dengan perluasan wilayah Islam.
Dengan adanya perluasan wilayah, maka banyak para sahabat yang mendatangi wilayah tersebut dengan tujuan mengajarkan agama Islam.Selain itu, adanya pertukaran pemikiran antara penduduk asli dengan para sahabat juga menjadikan ilmu pengetahuan berkembang dengan baik. Terobosan yang dilakukan Khalifah Utsman ini membuat pendidik dapat memperluas wilayah mengajar mereka tidak hanya di Mekkah dan Madinah saja.
Ada beberapa tenaga pendidik diantaranya :
1.     Para Khalifah itu sendiri
2.     Para sahabat besar, antara lain :
a)     Abdullah bin Umar
b)       Abu Hurairah
c)     Abdullah bin Abbas
d)        Aisyah
e)       Anas bin Mali
f)          Zaid bin Tsabit
g)       Abdullah bin Mas’ud
Khalifah Usman sudah merasa cukup dengan pendidikan yang sudah berjalan, namun begitu ada usaha yang cemerlang yang telah terjadi dimasa ini yang berpengaruh luar biasa bagi pendidikan Islam yaitu untuk mengumpulkan tulisan ayat-ayat Al-Qur’an. Penyalinan ini terjadi karena perselisihan dalam bacaan Al-Qur’an. Berdasarkan hal ini, khalifah Usman memerintahkan kepada tim untuk penyalinan tersebut, adapun timnya adalah: Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Zaid bin Ash, dan Abdurrahman bin Harits. Apabila terjadi pertikaian bacaan, maka harus diambil pedoman kepada dialek suku Quraisy.
Pada masa Khalifah Usman bin Affan, tugas mendidik dan mengajar umat diserahkan pada umat itu sendiri, artinya pemerintah tidak mengangkat guru-guru. Jadi para pendidik tersebut dalam melaksanakan tugasnya hanya mengharapkan keridhaan Allah semata. Adapun objek pendidikan pada masa itu terdiri dari:
1)               Orang dewasa dan atau orang tua yang baru masuk Islam
2)              Anak-anak, baik orang tuanya telah lama memeluk Islam ataupun yang baru memeluk Islam
3)               Orang dewasa dan atau orang tua yang telah lama memeluk Islam
4)              Orang yang mengkhususkan dirinya menuntun ilmu agama secara luas dan mendalam
Dari keempat golongan terdidik tersebut, pelaksanaan pendidikan dan pengajaran tidak mungkin dilakukan dengan cara menyamaratkan tetapi harus diadakan pengklasifikasian yang rapi dan sistematis, disesuaikan dengan kemampuan dan kesanggupan dari peserta didiknya. Adapun metode yang digunakan adalah:
1)     Golongan pertama: menggunakan metode ceramah, hafalan, dan latihan dengan mengemukakan contoh-contoh dan peragaan
2)   Golongan kedua: menggunakan metode hafalan dan latihan
3)   Golongan ketiga: menggunakan metode diskusi, ceramah, hafalan, tanya jawab
4)  Golongan keempat: menggunakan metode ceramah, hafalan, Tanya jawab dan diskusi serta sedikit hafalan. Pendidikan dan pengajaran pada golongan ini lebih bersifat pematangan (dan pendalaman mata pelajaran yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan terdidik dengan urutan mendahulukan pengetahuan yang sangat mendesak/ penting untuk dijadikan pedoman dan pegangan hidup beragama.
Ada 3 fase dalam pendidikan dan pengajarannya:
1.   Fase pembinaan: dimaksudkan untuk memberikan kesempatan agar terdidik memperoleh kemantapan iman.
2.   Fase pendidikan: ditekankan pada ilmu-ilmu praktis dengan maksud agar mereka dapat segera mengamalkan ajaran dan tuntunan agama dengan sebaik-baiknya dalam kehidupan sehari-hari.
3.   Fase pelajaran: ada pelajaran-pelajaran lain yang diberikan untuk penunjang pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Hadits, seperti bahasa Arab dengan tata bahasanya, menulis, membaca, syair dan peribahasa.[3]
Pendidikan pada masa khalifah Usman ini tidak hanya terjadi perkembangan, jika dibandingkan pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Hal ini disebabkan pada masa khalifah Usman urusan pendidikan diserahkan begitu saja pada rakyat.
Dari segi pemerintahan khalifah Usman banyak timbul pergolakan dalam masyarakat sebagai akibat ketidaksenangan mereka terhadap kebijakan khalifah Usman yang mengangkat kerabatnya dalam jabatan pemerintahan.[4]
  1. Pola Pendidikan Pada Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H: 656-661 M)
Ali adalah khalifah yang keempat setelah Usman bin Affan. Pada masa pemerintahannya sudah diguncang peperangan dengan Aisyah (istri Nabi) beserta Talhah dan Abdullah bin Zubair karena kesalahfahaman dalam menyikapi pembunuhan terhadap Usman, peperangan diantara mereka isebut perang Jamal (unta) karena Aisyah menggunakan kendaraan unta. Setelah berhasil mengatasi pemberontakan Aisyah, muncul pemberontakan lain, sehingga masa kekuasaan khalifah Ali tidak pernah mendapatkan ketenangan dan kedamaian.
Muawiyah sebagai gubernur di Damaskus memberontak untuk mengguingkan kekuasaannya. Peperangan ini disebut Shiffin, karena terjadi di Shiffin. Ketika tentara Mu’awiyah terdesak oleh pasukan Ali, maka Mu’awiyah segera mengambil siasat untuk menyatakan tahkim (penyelesaian secara adil dan damai). Semula Ali menolak, tetapi karena deakan dari beberapa tentaranya akhirnya Ali menerimanya, namun tahkim malah menimbulkan kekacauan, sebab Mu’awiyah curang, dengan tahkim tersebut, Mu’awiyah berhasil mengalahkan Ali dan mendirikan pemerintahan tandingan di Damaskus. Sementara itu, sebagian tentara yang menentang keputusan Ali dengan cara tahkim, meninggalkan Ali dan membuat kelompok tersendiri yaitu khawarij.
Pada masa khalifah Ali ini terjadi kekacauan dan pemberontakan, sehingga pemerintahannya tidak stabil. Dengan kericuhan politik pada masa ini, kegiatan pendidikan Islam mendapat hambatan dan gangguan. Pada saat itu khalifah Ali bin Abi Thalib tidak lagi memikirkan masalah pendidikan karena seluruh perhatiannya ditumpahkan pada masalah keamanan dan kedamaian bagi masyarakat Islam. Dengan demikian masalah pola pendidikan pada masa Khulafaur Rasyidin tidak jauh berbeda dengan masa Nabi yang menekan pada pengajaran baca tulis dan ajaran-ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits Nabi.
Pada masa ini, penaklukkan ke timur dan ke barat dan kaum muslimin memerintah dari Amir atas sebagian besar persi hingga sampai sungai jihan (Amudariya) dari utara atas suriyah dan negeri Armenia, dari Barat atas Mesir. Dan dibukanya kota kota besar Islam seperti Fusthat, Kufah, dan Damaskus.
Dengan demikian agama Islam tersebar seluruh Negara Islam yang luas dipeluk oleh penduduk dengan segala suka hati, bukan dengan paksa atau kekerasan. Pusat pendidikan bukan hanya di Madinah saja, bahkan telah tersebar pula di kota-kota besar sebagai berikut :
1.     Kota Mekkah dan Madinah (Hijaz)
2.      Kota Bashrah dan Kufah (Iraq)
3.       Kota Damsyik dan Palestina (Syam)
4.        Kota Fistat (Mesir).
Sahabat-sahabat bertebaran ke berbagai daerah dan disana mereka menjadi pemimpin sekaligus menjadi pendidik muslim di tempat masing masing sehingga pendidikan tidak berpusat da Madrasah saja. Selanjutnya praktek pengelolaan pendidikan pada masa ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
a)     Prinsip-prinsip pendidikan diarahkan pada mengajarkan isi Al-Quran.                                                      
b)       Sumber pendidikan diambil dari Al-Quran, Hadits, alam sekitar (millu) da ijtihad dalam bentuk ijma dan Qiyas.
c)       Kurikulum atau rencana pelajaran disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
d)     Pada masa Ali bin Abi Thalib digalakkan motivasi belajar.[5]

D.    Pusat-pusat pendidikan pada Masa Khulafaur Rasyidin
Pusat-pusat pendidikan pada masa khulafaur rasyidin antara lain:
1.     Mekkah : guru pertama di Mekkah adalah Muaz bin Jabal yang mengajarkan Al-Qur’an dan Fikih
2.     Madinah : sahabat yang terkenal antara lain Abu Bakar, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan sahabat-sahabat lainnya
3.     Basrah : sahabat yang termasyhur antara lain Abu Musa Al-Asy’ari, seorang ahli fikih dan Al-Qur’an
4.     Kuffah : sahabat-sahabat yang termasyhur di sini adalah Ali bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Mas’ud yang mengajarkan Al-Qur’an ia adalah ahli tafsir, hadits, dan fikih.
5.     Damsyik (Syam) sahabat yang mengajarkan ilmu di sana adalah Mu’az bin Jaba ( di Palestina), Ubaidillah (di Hims), dan Abu Darda’ (di Damsyik)
6.     Mesir : sahabat yang mula-mula mendirikan madrasah dan menjadi guru di Mesir adalah Abdullah bin Amr bin Ash, ia adalah seorang ahli hadits.[6]

























BAB III
PENUTUP

SIMPULAN
Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan tidak terjadi perubahan pola pendidikan,. Akan tetapi, terjadi sebuah penyeragaman cara membaca Al-Qur’an dan terjadinya pertambahan peserta didik dimana hal itu membuat lebih banyak lagi yang paham tentang Islam dan mempermudah mereka yang belajar agama Islam, karena dahulu ketika masa Khalifah Umar para sahabat dan ahli agama tidak boleh pergi keluar Mekkah dan Maddinah. Metode yang digunakan yaitu halaqah, hafalan, diskusi (Tanya jawab), latihan, ceramah, dll.
Pada masa Ali telah terjadi kekacauan dan pemberontakan, sehingga di masa ia berkuasa pemerintahannya tidak stabil. Dengan kericuhan politik pada masa Ali berkuasa, kegiatan pendidikan Islam mendapat hambatan dan gangguan. Pada saat itu Ali tidak sempat memikirkan masalah pedidikan sebab keseluruhan perhatiannya ditumpahkan pada masalah keamanan dan kedamaian bagi masyarakat Islam.
Meskipun sempat mengalami pemberontakan-pemberontakan pada masanya, Sahabat Ali Bin Abi Thalib tetap menggalakkan kaumnya untuk tetap belajar walawpun tidak terlalu terfokus dalam dunia pendidikan karena Ali Bin Abi Thalib lebih memfokuskan diri terhadap keamanan masyarakatnya saat itu yang sempat mengalami pertumpahan.
Demikian lah dasar-dasar pandangan islam tentang pendidikan yang memilki kedudukan penting dalam ajaran islam sehingga pendidikan selalu diutamakan oleh umat islam.



DAFTAR PUSTAKA

Badri Matim,1993, Jakarta, sejarah peradaban islam,Raja Grafindo Persada


Hanun Asrohah, 1999, Jakarta,sejarah pendidikan Islam,Logos Wacana Ilmu


Mahmud Yunus, 1989,Jakarta ,Sejarah Pendidikan Islam ,Hidakarya Agung


Samsul Nizar, 2009, Jakarta,Sejarah Pendidikan Islam, Kencana Prenada Media Group

Soekarno, 1983, Bandung ,Sejarah Dan Filsafat Pendidikan Islam, Angkasa



[1] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam,(Jakarta:  Kencana Prenada Media Group:2009), hal: 48
[2] Ibid hal 50
[3] Soekarno, Sejarah Dan Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Angkasa, 1983), hal: 60
[4] Badri matim, Sejarah peradaban islam, (Jakarta:Raja Grafindo Persada:1993) hal 39
[5] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta : Hidakarya Agung:1989), hal  116-117
[6] Hanun Asrohah,Sejarah Pendidikan Islam,(Jakarta:Logos Wacana Ilmu:1999),hal 20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar