Secara administrasi kabupaten Bojonegoro dibagi menjadi 27
kecamatan dengan 419
desa dan 11 kelurahan yang terdiri dari
1.299 dusun dan lingkungan, 2.000 RW dan 7.528 RT dengan luas
wilayah keseluruhan adalah 230.706 Ha. Suatu desa dipimpin oleh seorang kepala desa. Sebagian besar kepala desa
di Kabupaten Bojonegoro berpendidikan SMA, yaitu
sekitar 57,11 persen,
sedangkan yang sempat mengenyam bangku kuliah hanya sekitar 18,41 persen, yang
melegakan adalah mulai Tahun 2010 sudah tidak ada kepala desa yang
berpendidikan sebatas sekolah dasar. Kabupaten Bojonegoro bagian dari propinsi Jawa Timur dengan jarak 110 km dari ibukota propinsi dan berbatasan langsung dengan propinsi Jawa Tengah. Batas-batas administrasi kabupaten Bojonegoro adalah :
Sebelah Utara : Kabupaten
Tuban
Sebelah Timur : Kabupaten
Lamongan
Sebelah Selatan : Kabupaten Madiun, Nganjuk dan
Jombang
Sebelah Barat : Kabupaten
Ngawi dan Blora (Jawa Tengah)
Dengan luas wilayah keseluruhan
230.706 ha, 40,15% wilayah Bojonegoro merupakan wilayah hutan negara yang
sebagian besar berada di wilayah selatan Bojonegoro, 32,58% berikutnya berupa
lahan sawah yang sebagian besar berada di sepanjang aliran sungai bengawan
Solo. Sebanyak 22,42% merupakan tanah kering dan sisanya 4,85% adalah perkebunan dan
lain-lain.
Topografi
Kabupaten Bojonegoro menunjukkan bahwa di sepanjang daerah aliran sungai bengawan
Solo merupakan daerah dataran rendah, sedangkan di bagian selatan merupakan
dataran tinggi disepanjang kawasan Gunung Pandan, Kramat dan Gajah. Bengawan Solo
mengalir dari selatan, menjadi batas alam dari Provinsi JawaTengah, kemudian
mengalir ke arah timur, di
sepanjang wilayah utara kabupaten Bojonegoro. Bagian utara merupakan daerah aliran
sungai bengawan Solo yang cukup subur dengan pertanian yang ekstensif.
Kabupaten
Bojonegoro memiliki jumlah penduduk sebesar 1.430.316 jiwa atau 403.468 KK yang
terdiri dari 721.445 laki-laki dan 708.871 perempuan. Sektor pertanian
merupakan sektor utama dalam perekonomian Kabupaten Bojonegoro sehingga
penduduk kabupaten Bojonegoro sebagian besar bermata pencaharian sebagai
petani. Kawasan pertanian umumnya ditanami padi pada musim penghujan dan tembakau
pada musim kemarau. 40,15 persen wilayah Bojonegoro masih merupakan hutan negara
yang sebagian besar berada di wilayah selatan Bojonegoro, 35,58 persen
berikutnya berupa lahan sawah, yang sebagian besar berada di sepanjang aliran
sungai Bengawan Solo. Sebanyak 19,42 persen merupakan tanah kering dan sisanya
4,85 persen adalah perkebunan dan lain-lain. Bojonegoro hanya memiliki 22 stasiun
penangkar hujan, yang tersebar di 15 kecamatan. Dari 15 kecamatan, hujan paling
sering terjadi di kecamatan Sukosewu yaitu sebanyak 127 hari, hujan paling
sedikit muncul di kecamatan Ngraho yaitu hanya 48 hari. Sementara itu, untuk menanggulangi
kekurangan air untuk keperluan pengairan lahan pertanian di musim kemarau,
dilakukan dengan menaikkan air dari sungai Bengawan Solo melalui pompanisasi yang
tersebar di 8 kecamatan yang meliputi 24 desa.
Sektor
unggulan dan komoditas unggulan yang dimiliki oleh kabupaten Bojonegoro yaitu :
1. Sektor
Pertanian, Hortikultura, Perkebunan, Peternakan dan Perikanan;
2. Sektor
industri kreatif;
3. Sektor
Migas;
4. Sektor
Pariwisata.
Mengingat
sebagian besar wilayah kabupaten Bojonegoro berupa lahan pertanian maka saat
ini dan masa yang akan datang sektor ini akan menjadi salah satu sektor
unggulan yang diunggulkan. Memang sebelum ditemukannya SDA migas di Kabupaten
Bojonegoro, maka sektor pertanian merupakan sektor penyumbang terbesar terhadap
pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Namun Kabupaten Bojonegoro
tidak pernah bergantung dari migas karena sektor pertanian selama ini menjadi
sektor basis yang menyerap tenaga kerja paling besar.
Penemuan
sumber minyak di Kabupaten Bojonegoro membuat Kabupaten Bojonegoro menjadi
primadona baru dan berdampak luar biasa bagi Kabupaten Bojonegoro. Bahkan
kandungan minyak dan gas yang ada menjadikan Kabupaten Bojonegoro menjadi salah
satu daerah penyangga Gudang Energi Nasional karena hampir 20%. Kegiatan
eksplorasi migas dilakukan oleh Exxon Mobile (Mobile Cepu Limited) - PT. Pertamina
serta JOB Pertamina Petrochina East Java (PPEJ). Dengan cadangan minyak mencapai
1.200 MMBOE dan potensi gas mencapai 6 Trilyun Cubic Feet (1.000 MMBTU = 1
cubic feet) di blok Banyu Urip Kecamatan Ngasem maka diperkirakan Kabupaten
Bojonegoro turut memberikan kontribusi pada negara lebih dari 1.000 Trilyun
Rupiah dengan asumsi ICP lifting minyak nasional 90 US$/barel dan price gas
nasional 3 US$/MMBTU. Sepanjang Tahun 2011 tingkat produksi akumulatif yang
dihasilkan mencapai 62 ribu barel per day. Produksi tersebut akan bertambah
apabila eksplorasi sudah mencapai puncak (peak production) yang diperkirakan
akan mencapai 165 ribu barel per day. Selain eksploitasi yang sudah dilakukan
di Kecamatan Ngasem dan Kapas, sumber minyak juga ditemukan di Kalitidu yaitu
di lapangan Kedung Keris, Kecamatan Dander di daerah Alas Tuo Timur dan Tiung
Biru di Kecamatan Tambakrejo saat ini sudah mulai dilakukan kegiatan
eksplorasi.
Pertambangan migas
di Kabupaten Bojonegoro
dimulai dengan ditemukannya “emas
hitam” atau minyak di kecamatan
Kedewan yaitu di Desa Kawengan, Wonocolo, Hargomulyo dan Beji. Namun tidak
seperti pertambangan migas yang ada di Blok Cepu maupun di lapangan Sukowati
yang dieksploitasi dan dieksplorasi oleh MCL, PT. Pertamina dan Petrochina,
sumur-sumur minyak yang ada di kecamatan Kedewan di tambang secara tradisional dan mekanis oleh penduduk setempat.
Penambangan dilakukan dengan peralatan yang sederhana sedangkan sebagian lagi
menggunakan teknologi yang memanfaatkan mesin
mobil sebagai
penggerak. Sumur-sumur minyak tua rata-rata mempunyai kedalaman 500 meter,
jumlah sumur sebanyak 74 yang meliputi desa
Wonocolo 44 sumur dengan kapasitas produksi 25.771 liter/hari, desa Hargomulyo 18 sumur dengan kapasitas 12.755 liter/hari dan di desa
Beji 12 sumur dengan kapasitas produksi 8.249 liter/hari. Kegiatan penambangan
yang dikelola secara tradisional ini memiliki daya tarik wisata tersendiri
karena menawarkan keindahan alam berupa hutan dan secara khusus adalah wisata
untuk penambangan minyak tradisional yang tidak dimiliki oleh daerah lain.
Selain
sektor pertanian dan sektor pertambangan (migas), masih banyak sektor lagi yang
mendukung peningkatan perekonomian Bojonegoro, seperti pariwisata, perikanan
dan peternakan, industri kreatif dan lain-lain. Melihat hal tersebut sudah
semestinya banyak pula jumlah lapangan kerja yang ada di Bojonegoro. Akan
tetapi pada kenyataannya masih banyak pula jumlah pengangguran yang ada di
Bojonegoro bahkan di beberapa kecamatan, rata-rata warganya merantau ke negeri
tetangga untuk menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia).
Hal seperti ini membutuhkan
perhatian khusus dan perlu diteliti lagi mengapa masih banyak pengangguran di
Bojonegoro. Dengan cara mengoreksi lagi kekurangan-kekurangan di beberapa
sektor yang sekiranya belum dimaksimalkan maka dapat ditemukan sumber-sumber
masalah yang memnculkan beberapa dampak negatif seperti pengangguran ini. Lembaga
yang bersangkutan mengenai masalah ini sudah seharusnya bekerja lebih maksimal
lagi agar potensi yang ada memberi hasil yang maksimal pula.
Dalam hal ini, pemerintahan maupun
lembaga terkait mampu bekerja maksimal dengan partisipasi warga Bojonegoro
pula, khususnya yang mempunyai potensi untuk memecahkan masalah-masalah seperti
ini yakni yang berpendidikan. FKMB (Forum Komunikasi Mahasiswa Bojonegoro),
yang sejak berdirinya mempunyai cita-cita untuk memberdayakan daerah mempunyai
andil besar dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada di Bojonegoro.
Bagaimana FKMB dengan bekal keilmuannya mengulurkan tangannya untuk turut
menyelesaikan masalah yang ada di Bojonegoro. Hal ini sudah semestinya
dilakukan, karenanya materi kedaerahan ini sangat diperlukan agar seluruh warga
FKMB mengetahui bagaimana ia menempatkan dirinya dan menempatkan FKMB dalam
aktivitas daerah. Tidak hanya untuk memecahkan permasalahan akan tetapi juga
dalam hal-hal lain yang berkaitan dengan pemberdayaan daerah Bojonegoro
sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar